Friday, May 20, 2005
Kuliah Multikulturalisme
nanti sore mau ngasih kuliah sistem sosial indonesia. mahasiswanya 150 orang, kelasnya jam 4 sore, tidak ada fasilitas tersedia di kelas--aku harus membawa spidol sendiri, pasang laptop dan lcd sendiri, termasuk mengemasi sendirian pula. kadang ini bikin males. tapi kalau ingat aku bercita-cita menjadi guru yang baik, aku tidak boleh menjadikan ini sebagai halangan. yeah, walau kadang jengkel juga kalau mereka yang biasanya duduk di belakang malah asyik mengobrol. trus audience-ku kayaknya cuma tiga baris didepan. waduh, ya sudah biarlah. toh aku juga berusaha memperbaiki metode mengajarku-namanya juga masih juniorJ blum berpengalaman...tapi, ugm pleaseee duung, kelasnya jangan kebanyakan gitu lah. dibagi lah jadi kelas kecil, jumlah dosennya ditambah juga, kesejahteraan diperbaiki.

Kuliahku akan kuisi dengan pembahasan tentang multikulturalisme. Karena Indonesia adalah realitas yang majemuk, multikulturalisme sebagai sebuah pandangan menjadi sangat relevan. Indonesia terdiri dari berbagai macam etnik, suku, agama, dan kebiasaan yang berbeda. Setiap komunitas hidup dalam wacana lokalnya. Setiap kelompok memiliki kearifan lokalnya. Kebudayaan adalah ruang yang membentuk identitas manusia. Dari sini dia menerjemahkan dirinya dan perannya di dalam lingkungannya. Setiap kebudayaan memiliki pengetahuannya. Inilah “rasionalitas lokal” itu. Pattern of logic yang dimiliki oleh sebuah kebudayaan. Karena itu, sifat ilmiah menjadi relatif. Tidak ada high culture atau low culture. Karena tiap-tiap kelompok memiliki sistemnya sendiri. Inilah paradigma. Inilah peradaban. Mengutip tulisannya Alois A Nugroho—yang dia mengutip kata-kata Paul Feyerabend—anything goes, perlu ada toleransi dalam paradigma dan sikap ilmiah.

Kebudayaan global, pembangunan memberi dampak pada bagi munculnya kelompok marginal. Kelompok yang secara statistik jumlahnya kecil, kelompok yang secara paradigma menjadi orang-orang yang kalah, kelompok yang terdominasi, terhegemoni. Acapkali kondisi ini menghasilkan fakta adanya dikotomi maju-terbelakang, civilized-uncivilized, mayoritas-minoritas, tinggi-rendah. Contohnya, kita akan mengatakan bahwa teknologi nirkabel lebih high culture dibanding mesin pemecah jagung. Bahkan dalam joke sehari-hari kita sering mendengar istilah gojeg kere. Waduuh, gojek sugih yang kayak apa nyak..

Kebudayaan adalah perangkat pengetahuan. Globalisasi salah satunya membawa dampak yang mengerikan, yakni hilangnya bahasa-bahasa yang digunakan oleh sekelompok kecil orang atau kelompok. Aku membaca sebuah artikel pada waktu kuliah reading di sanata dharma--aku lupa sumbernya, intinya artikel itu cerita tentang efek globalisasi—salah satunya adalah penggunaan bahasa inggris secara masif, berefek pada hilangnya bahasa-bahasa lokal. Bahasa yang digunakan kurang dari 100ribu orang, bisa dipastikan 10 tahun ke depan akan punah. Selain globalisasi, proyek nasionalisme negara bangsa juga menyebabkan semakin berkurangnya pengguna bahasa daerah. Padahal, sebuah bahasa adalah proses ribuan tahun. Proses yang sangat panjang, yang menjadi cermin peradaban manusia. Bagaimana orang mengenali benda-benda dan menamainya. Bagaimana mereka merangkai kata dan terus menyempurnakannya…jika saja bahasa itu akan hilang dengan cepat karena proses pengglobalan.. what a pity!!

Kehilangan bahasa hanyalah satu contoh saja (dan aku berharap kelak kalo aku punya anak—aku akan tetap mengajarkan mereka bahasa jawa halus). Belum kehilangan-kehilangan yang lain. Lebih besar bayarannya adalah jika kita kehilangan perbedaan. Karena perbedaan inilah sebenarnya yang menjadi warna dalam dunia. Memang, realitas konflik karena perbedaan tidak bisa dihindari, tetapi, adanya konflik pun sejatinya memperkaya peradaban manusia—menunjukkan bahwa masyarakat berdinamika (tapi please deh, no war and no violence anymore lah..!)

Multikulturalisme memberi peluang bagi hidupnya perbedaan. Walau kalah, bukan berarti mereka mati. walau kritik tentang multikulturalisme ini juga muncul (iyalah, nobody is perfect, no theory is perfect also, karena itu ada Kuhn yang bilang bahwa paradigma akan mencapai titik nadir atau tak ada, juga Hegel yang percaya bahwa dalam thesis selalu ada antithesis). Multikulturalisme seringkali bersifat pragmatis dan naif sehingga seringkali tidak percaya pada adanya kebaikan, kebenaran yang bersifat universal.

Yeah, sekian, aku akan bertemu dengan mahasiswa, ritual yang menyenangkan. Bertemu, berdiskusi, dan belajar bersama. Menciptakan suasana Frankfurt School di Gadjah Mada…ups, seandainya…hehe,make it comes true donk:)
--na--
 
posted by kembang_jepun at 12:50 PM | Permalink |


0 Comments:


ulang tahun pernikahan
Daisypath Ticker