Friday, January 26, 2007
janji
aku berjanji padamu memperjuangkannya
walaupun langkahku lelah, dan batu menghalangi langkahku
dan aku sedang rindu
aku berjanji padamu menetapkan pilihanku
dan mengucapkan setia kepada waktu
bahwa aku akan membayar impianku satu persatu


22;23 untuk konsekuen pada pilihanku
thanks for sharing my dear.
 
posted by kembang_jepun at 10:16 PM | Permalink | 1 comments
kesasar (lagi) di bergen
Sehabis kuliah, Siyu dan saya berencana untuk belanja bersama ke Lidl--salah satu supermarket yang lumayan lengkap dan murah untuk ukuran Bergen. Apalagi, semua pasokan logistik di kulkas udah habis--ingat logika tanpa logistik tidak jalan hehee. Maka, niat ke Lidl dibulatkan. Walo ujan badai, ujan angin, ujan salju, maju terus. Hiperbola banget..Dengan semangat kami jalan ke bus stasjon sambil ngobrol dijalanan. Sebenarnya bisa aja kami jalan ke Lidl dari Fantoft dengan jalan kaki. Tapi cuacanya lagi gini, pasti naik turun gunung licin. Akhirnya kami naik bus.

Sampai di bus stasjon, dengan pede nya Siyu bilang kalau kita bisa naik 60, karena 525--bis yang biasa kami tumpangi sampai Lidl, lama nunggunya. Hanya datang 30 menit sekali. 5 menit menunggu, naiklah ke bis jalur 60. Bus pun meluncur. Kami tetep ngobrol, dan tiba-tiba ngeh kalo jalannya agak aneh waktu nglewatin tunnel yang panjaaang banget. Hadaah ini dimana ya. Mau berenti gak berenti-berenti, karena ternyata bus stop terdekat jaaauh sekali dari sebelum masuk tunnel. Keluar tunnel, yang ada jalanan yang penuh salju, dan sepii sekali, nyaris hanya beberapa orang jalan, dan tidak ada bangunan. Yang ada cuma tebing-tebing.

Kamipun turun di bus stop terdekat. Sambil clingak-clinguk nyari orang yang bisa ditanyain. Mungkin ini dah diluar kota, dan kayaknya jaraknya lumayan jauh karena kami butuh sekitar 40 menit di dalam bis. Saking asyiknya ngobrol, enggak kerasa kalau bis ternyata enggak ke fjosanger, tempat dimana Lidl berada. Akhirnya kami tertawa-tawa menyadari keteledoran kami milih jalur bus (karena kemungkinan ini bis jalur 60 dengan trayek yang lain--bukan ke fjosanger), sambil terheran-heran karena udah 6 bulan disini ternyata baru nyadar ada tempat di bergen yang berupa tebing kanan kiri semata-mata, dipenuhi salju, dengan sedikit makhluk hidup melintas *hiperbola*.

Akhirnya kami mencoba cari arah berlawanan. Syukur gak lama ketemu halte. Setelah nunggu beberapa lama, dengan hujan salju yang mulai turun, juga setelah foto-foto hehe, kami bertemu bis jalur 60 ke arah sentrum. pfff, syukurlah.

Sampai bus stasjon, kami akhirnya menunggu jalur andalan 525. Setengah jam menunggu, dan beberapa menit perjalanan, akhirnya kami sampai di lidl. Untung masih ketemu hari terang, walau saat itu cuaca agak sedikit seru seram, karena hujan salju deras dengan angin, yang dinginnya minta ampun. What a lucky day!:D
 
posted by kembang_jepun at 9:52 PM | Permalink | 4 comments
Monday, January 22, 2007
full day activities
Hari ini saya bangun pagi-pagi sekali. Pukul 6 sudah bangun. Hore! rekor tuh. Biasanya kalau bangun jam 9 sudah bagus. Kalau enggak ada kuliah biasanya mundur sampai jam 10. Entahlah disini jam tubuh saya kadang aneh. Kalau tidur malam sekali, bangun siang sekali. Tapi kadang juga suka berubah-ubah. Kalau pulang kecapekan, kadang bisa ketiduran sejam, dan bangun dengan (kadang) segar.

Saya bangun pagi karena niatnya saya ingin berpuasa hari ini. Lumayan lah, puasa di waktu winter kan tidak begitu berat. hehehe, subuh jam 7 (matahari terbitnya sih jam 10), dan magrib jam setengah5. Lumayan lah, membayar hutang-hutang pas Ramadhan kemarin hehe. Habis sahur, saya enggak melanjutkan tidur, niatnya sedikit membenahi calon proposal saya itu..ciieee..masih calon keikekeke..

Sambil ngedengerin Riot in An Empty Streetnya Kings of Conviniece yang keren banget itu, saya mengetik, sampai tiba-tiba...petttt....laaah, semua gelap. Pertamanya sih mikir, apa something wrong dengan kamar saya ya..ngintip ke luar, lah kok lampu koridor semua gelap. Langsung lihat ke luar jendela--wah maklum lantai 9--biasanya banyak lampu-lampu. Tapi pagi ini semua gelap. Hayaah, masak negara maju mati lampu. Padahal walo udah jam setengah 8, gelapnya masih bener-bener gelap. Ih, bener-bener deh, ini pengalaman pertama mati lampu di sini. Tetangga sebelah yang punya anak bayi tampak bergegas turun. Iyalah, takut ada apa-apa kali ya..kan jarang-jarang. Dan entah kenapa, gedung asrama Fantoft ini kalo gelap semua ya jadi serem sekali. Maklumnya gedungnya tua, kamarnya tua. Pertama datang aja ngeliatnya aneh banget ini kamar.

Yasudahlah, akhirnya saya mengeluarkan gaya hidup norwegia, hehehe..itulah lilin sodara. Entah kenapa, orang norwe ini senaaang sekali dengan lilin. Kadang saya heran ngelihat ada orang belanja lilin beberapa plastik, kaya nyetok gitu. Apa tiap hari dia bakar lilin itu ya..tapi emang orang norway suka rumah dengan penerangan yang minim, dan mereka nyalain lilin. Jadi memang candle light dinner setiap malam:) Pernah saya cerita ama temen norway kalau saya pengen beli heater tambahan, soalnya pemanas di kamar udah gak bisa lebih panas lagi. Komentar dia, ngapain beli heater tambahan, mending kamu nyalain lilin di kamar, pasti anget. Hehe, tapi saya yang serampangan waktu tidur itu takut kalau-kalau saya nendang lilin apa gimana, takut kebakar dan sebagainya.

Lama-lama dikamar dengan mati lampu gitu kok ya seram juga ya. Membayangkan kamarku yang atas ini, terus ntar gimana-gimana..wooh, dasar tukang berimajinasi jelek. Akhirnya saya cuci muka, sikat gigi dan ganti bajulah. Mending berangkat ke kampus pagi. Lumayan, bisa nerusin browsing apa kek gitu, juga ngeprint beberapa bahan buat presentasi. Lumayan, presentasi sukses. Tapi setelah dapat banyak masukan dari peserta seminar, kok risetku ini kelihatan terlalu complicated dan pengen menyentuh banyak hal ya...huh, pusing deh.

Abis seminar, rasanya udah capek banget. Ngantuk pula, baru kerasa semalam tidurnya kurang berkualitas. Ditambah aktivitas seminar yang emang bikin capek orang yang presentasi. Akhirnya sempet tidur beberapa menit di reading room--payahnya gaya tidur disini bisa bikin pegel leher. Bener deeh. Pegel bener.

Hari ini mulai kursus bahasa norsk pertama di semester ini. Mulai jam dua siang sampai 4 sore. Nunggu sekitar 2 jam sampai jam dua. Nyari tempat kursusnya, udah pede nunggu dan datang awal, ee..ternyata salah ruangan. Nyari ruangan 210 susah amat. Ternyata ada di gedung yang lain. Jalannya itu ya..capek deh. Puter-puter, akhirnya dapatlah gedung warna putih dekat gereja. Tengah-tengah kursus, turun hujan salju lumayan deres. Waah, tumben-tumben tuh. Selama winter ini, belum pernah ada hujan salju sederas dan selama hari ini. Sebelum ini pernah turun lumayan deras, tapi enggak membuat saljunya jadi banyak. Selesai kursus, salju di luar sudah lumayan tinggi. Dan lumayan dingin juga.

Pulang ke Fantoft diiringi hujan salju huehue..deres..lumayan kaget juga lihat salju lumayan tinggi. Beberapa anak-anak nyiapin kereta luncur mereka dan bermain-main. Hari mulai gelap, tapi salju yang langka di Bergen ini (apalagi katanya setelah global warming) memang harus dinikmati. Saya berjalan pulang sambil bermain-main dengan tumpukan salju.

Dirumah, lewat magrib. Saya harus menyiapkan makanan buka dengan memasak lebih dulu. Duh badan sudah capek sekali ni. Selesai masak dan masak, sembahyang, dan sebagainya..saatnya untuk rileks. Rebahan di kasur, dan tidur dua jam. Bangun sudah agak segar. dan Aha iya, saya belum minum kopi..saya butuh kopi.
 
posted by kembang_jepun at 8:36 PM | Permalink | 1 comments
Sunday, January 21, 2007
Bergen
Bergen dari atas Floyen

Sejak awal saya memiliki obsesi tentang hujan. Hujan bagi saya adalah sesuatu yang romantis. Pada suatu ketika di malam-malam saya bercakap tentang hujan bersama Vero (hai Vero!), kawan yang dalam satu waktu mengisi hari-hari saya dalam sebuah aktivisme gerakan pers mahasiswa di kampus. Ketika pulang dari kampus dan Vero biasanya menginap di rumah saya, kami bercakap hingga larut, tentang apa saja, pembicaraan bermutu dan pembicaraan tidak mutu, juga tentang lelaki dan hujan.

"Aku paling suka dengan lelaki yang rambutnya basah karena hujan. Hujan itu seksi, baik yang deras atau yang rintik-rintik. Bau tanah yang basah dengan hujan, dan apalagi kalau hujan turun dan kita tengah di stasiun kereta, atau balairung UGM yang romantis itu. Lantas seorang lelaki menatapku dari jauh dengan sepeda," lantas kami tergelak. Dengan tawa muda kami, gadis dua puluhan dengan banyak mimpi.

Saya tidak pernah membayangkan pada akhirnya Tuhan memberi saya kesempatan untuk tinggal di kota bernama Bergen--kota yang hampir setiap hari hujan. Tuhan menjawab impian dan obsesi saya tentang hujan. Disini setiap hari saya berbasah-basah dengan hujan. Sayapun selalu bersiap dengan payung saya yang berwarna pink cerah itu. Berjalan di tengah hujan, dengan harus berhati-hati melangkah di jejalanan yang licin karena kubangan air membeku akibat dinginnya suhu.

Inilah Bergen, kota yang menyimpan obsesi masa muda (baca:remaja) saya tentang hujan. Tapi sayangnya tidak ada lelaki seksi yang rambutnya basah kena hujan, karena lelaki saya tertinggal di yogya hehe. Tapi, saya bersyukur mendapat kesempatan tinggal di kota ini. Kota yang sejak pertama datang membuat saya jatuh cinta.

Kota kecil--walaupun kota terbesar ke dua di Norwegia, dengan penduduk 225.000 jiwa, yang setiap hari hampir selalu hujan. Yang kadang saya juga komplain dengan hujan, tapi saya amat menikmati hari-hari saya disini. Jalanan yang bergunung, hutan yang indah, danau, downtown yang kecil tapi semarak, dengan toko buku yang lengkap di norli atau studia, perpustakaan CMI yang dekat rumah, bergen dengan fish market dan bryggennya.

Saya menikmati hari-hari saya disini. Menikmati banyak momen reflektif yang amat mewah dan tidak saya dapatkan ketika bekerja. Menikmati kebersamaan saya dengan teman-teman Menikmati kesendirian saya di kamar, dengan tugas, buku-buku, internet, dan kadang pula tangisan.. Menikmati setiap vocab bahasa norsk yang saya lafalkan dengan janggal. Menikmati winter yang memperlambat datangnya matahari. Mencoba menikmati banyak hal yang mungkin sebenarnya tidak terlalu nikmat. Di Bergen mungkin saya tengah belajar untuk lebih bersyukur dan mengenal hidup.

Mm, mungkin jika Kings of Convinience, duo grup musik kebanggaan Bergen, bernyanyi tentang Cayman Island, saya kini bernyanyi tentang Bergen..

Through the alleyways to cool off in the shadows
Then into the street following the water
There's a bearded man paddling in his canoe
Looks as if he has come all the way from the Bergen

These canals, it seems, they all go in circles
Places look the same, and we're the only difference
The wind is in your hair, it's covering my view
I'm holding on to you, on a bike we've hired until tomorrow
If only they could see, if only they had been here
They would understand, how someone could have chosen
To go the length I've gone, to spend just one day riding
Holding on to you, I never thought it would be this clear

(Kings of Convience--Cayman Island--saya ganti nama Cayman Island dengan Bergen)--this is a very cool song. Thank buat vero yang udah ngenalin KOC:)
 
posted by kembang_jepun at 4:24 PM | Permalink | 1 comments
Monday, January 15, 2007
cerita awal tahun

Selamat tahun baru semuanya..

saya ingin menuliskan ulang tulisan di foto ini..

TRADITIONS, TABOOS, AND DELICACIES
Everyone has a right to eat. Not just to stay alive, but also to celebrate the life, to stimulate the senses, to nourish friendships, to strenghen family, to make memories. Eating together goes along with special dishes from many traditions. Those differ from culture to culture and give people the sense of belonging together. Even if all supermarkets in the world may sell exactly all the same products and even if people from Amsterdam and world eat pizza, hamburgers, noodle soup, and tortillas, the need to eat special food together and to keep traditions alive will always remain and find everywhere.

Saya menemukan kata-kata ini di Rijksmuseum voor volkenkunde, Leiden. Di sebuah ruangan besar khusus tentang makanan, dan tentang khazanah makanan di belahan dunia. Setelah bersepeda dari Merelstraat--museum ini memang menjadi tujuan utama saya. Museum makanan.

Makanan bagi saya menyimpan berbagai macam keunikan. Karena makanan identitas manusia dibangun dan dibedakan. Habitus yang dibentuk dan mengalami proses sejak seorang anak mengenal makanan selain air susu ibunya. Saya takjub dengan beranekanya makanan diseluruh dunia. Bagaimana pilihan terhadap makanan, cara memasak, cara memakan, hingga cara membersihkan makanan, adalah sebuah rekaman antropologis sebuah masyarakat. Seperti pengantar dipintu museum makanan di rijksmuseum. Makanan tidak hanya untuk mempertahankan hidup, makanan adalah cara manusia mempererat hubungan sosialnya, cara manusia membangkitkan memorinya terhadap sesuatu-tentang konsepsi ibu-tanah-homeland-aku. Makanan adalah kebudayaan, cara manusia berhubungan dengan alam, manusia dengan budaya, dan manusia dengan manusia yang lain.
***

Hari itu akhir tahun, dan saya menyusuri Leiden dengan sepeda. Saya menyusuri jejalanan diantara kanal, dan romantisme akan mbah Jalal, kakek saya yang diaspora. Saya mengingat mbah Jalal sebagai sosok kakek yang hangat, resik, wangi, datang dari Belanda setiap tahun, bersama oma Co de Swartz, istri yang teramat dicintainya itu. Saya tidak pernah lupa bagaimana saya kecil selalu membayangkan kehidupan di luar negeri yang serba tertata. Seperti muncul dalam sosok mbak Jalal. Mbah Jalal adalah adik lelaki satu-satunya mbah kakung kandung saya, Haji Zubair. Mereka adalah Minke pada masanya. Simbah buyut saya pedagang kain mori untuk bahan batik. Sangat kaya. Sekitar tahun 1930-an, dua kakak beradik Zubair dan Jalal berlayar ke Mesir, sempat mampir belajar ke Al Azhar. Lantas Jalal belajar kedokteran ke Belanda, dan Zubair belajar ekonomi ke Perancis.

Keberuntungan orang-orang pada masanya. Keberuntungan karena terlahir sebagai keluarga kaya. Lantas, karena orangtuanya bangkrut, kedua bersaudara harus pulang karena tidak ada lagi biaya. Tapi Jalal tidak mau. Hatinya tertinggal disana. Beliau memutuskan untuk menetap bersama perempuan belanda yang lantas menjadi istrinya. Dan saya, sebagai generasi kedua Zubair, hanya bisa mengenal sosoknya yang elok dan wangi, setiap tahun, dalam kunjungan-kunjungannya. Mbah Jalal dan Oma Co tidak punya anak. Karena itulah mereka menganggap keponakan, seperti bapak saya adalah anak-anaknya. Mbah Jalal meninggal pada tahun 1999, karena usia tua.

Saya lantas membayangkan kehidupan sebagai diaspora. Sebagai orang yang berada jauh dari komunitas asalinya. Seperti mbah Jalal. Angin Leiden yang dingin siang itu, membuat pikiran saya berkelana. Dan saya membayangkan masa kecil saya yang saat itu melihat mbah Jalal sebagi sebagai sosok yang selalu berbahasa belanda dengan istrinya, lebih menggemari susu dan keju daripada tempe, sangat barat, ekspresif, dan tinggi..Saya melihat mbah Jalal sebagai sosok yang hebat, dan jauh. Terlebih ketika beliau menghadiahi kami buku berjudul "Holland".

Saat itu saya hanya menatap gambar-gambarnya. Dan melihat bahwa itu semua terlalu mewah dan tak mungkin untuk saya.

Keluarga kami memang mengalami mobilitas vertikal menurun karena pendidikan. Semenjak mbah buyut Muchsin memutuskan mengirim anak lelakinya untuk bersekolah, setelah pulang simbah Zubair menjadi guru, semua anak-anaknya termasuk bapak saya adalah sarjana, bekerja secara profesional, tapi tidak ada yang memiliki kekayaan seperti mbah buyut saya. Karena itu saya tidak membayangkan, bapak saya menjadi seperti mbah Muchsin yang membiayai saya keluar negeri.

Karena itu semua hanya dalam bayangan saya..

Tapi keapikan dan keelokan yang saya lihat dari mbah Jalal, adalah relasi pasca kolonial, seperti halnya yang digambarkan dengan detail oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Rumah Kaca. Lewat sosok Pangemanan. Bagaimana seoarang tokoh lokal, pasca kolonialisme, menanggalkan dirinya dan melakukan mimikri terhadap identitas penjajahnya yang dianggap lebih adilihung.

Saya--yang lokal itu--melihat mbah Jalal sebagai sosok yang sangat barat, belanda, kaya, apik, wangi, well educated, dan tinggi.

Sementara kini, saya membayangkan menjadi mbah Jalal. Yang pernah saya anggap belanda itu. Saya membayangkan hidup sebagai diaspora juga bukan kehidupan yang mudah. Identitas adalah sesuatu yang lentur, yang mudah digantikan, mudah dipertukarkan. Identitas dikenakan saat dibutuhkan, dan ditanggalkan saat dibutuhkan. Inilah strategi survive manusia. Tapi identitas bagi orang yang berdiaspora juga bukan perkara yang mudah. Sepandai-pandainya kau sebagai belanda, seperti apapun gayanya hingga seperti Belanda,kau tetap bukan Belanda.

Saya mengenang mbah Jalal disini. Dan saya membawa sebuah foto mbah Djalal dan Oma Co. Di belakangnya mbah Jalal menulis

"Ini digambar waktu di Restaurant Bali di Breda, hari 23 Mei 1995. Berarti Opa+Oma 40 tahun berkawin, dengan keluarga-keluarga disana+beberapa kawan-kawan yang ada dari sekolah pertengahan+yang dari di universitas".

Saya menuliskan kalimatnya persis seperti apa yang beliau tulis. Saya jadi teringat, tulisan di Museum makanan tadi. Bahwa makanan adalah cara orang untuk mengenang. Makanan adalah cara orang untuk mempertahankan akarnya.

Seperti mbah Jalal, saya baru menyadari..seharusnya saya tidak melihat mbah Jalal dalam sosok beliau sebagai sosok yang resik, wangi, kaya, seperti imajinasi poskolonial tentang penjajahnya.

Seharusnya saya melihat beliau seperti Jawa, seperti Jawa di Kotagede.

***
Lama saya menatap tulisan di museum makanan itu. Ingatan saya tentang Indonesia. Everyone has a right to eat, karena itu adalah penanda identitas. juga yang terutama, tiap orang juga harus bebas dari rasa lapar.

Semoga kita tidak menjadi orang yang culturally homeless.

 
posted by kembang_jepun at 8:18 PM | Permalink | 0 comments
ulang tahun pernikahan
Daisypath Ticker