hari ini ada beberapa tempar yang saja kunjungi. sebelum berangkat ke kampus saya mampir ke bank, disana bayar parkir 500. setelah dari bank, saya mampir ke fotokopi, saya bayar parkir 500. dari fotokopi mampir ke artha buat cetak foto, bayar parkir lagi 500. makan siang di es eni sama ipink, dan harus membayar 1000! buat parkir. nanti pulang saya harus mampir kesini dan kesitu dan ya ampun, saya harus bayar parkir lagi...total jenderal kalau saya mengunjungi 6 tempat satu hari saya harus membayar 3000 sekali jalan, coba dikalikan kalo sebulan.
kemarin ada tulisan di kompas yang mengatakan bahwa dalam bidang perparkiran yang ada hanyalah fulusofi sebagai plesetas dari filosofi. dan benar, saya berulangkali dibuat jengkel oleh tukang parkir. kebanyakan diantara mereka asal tarik uang, tidak pakai karcis yang resmi, hanya kertas seadanya, dan kadang kertas berangka yang dilaminating. sudah gitu, seringkali tukang parkir ini tidak punya fungsi apa-apa. dia juga tidak menjaga kendaraan yang diparkir, tidak membantu mengatur parkir, dan yang lebih menjengkelkan adanya kehilangan atau kerusakan pada kendaraan pada saat parkir tidak ditanggung.
itu dari segi servis yang hampir tidak ada. dalam pandangan yang lebih makro, saya sepakat dengan tulisan di kompas kemarin (maaf, saya lupa siapa yang nulis), bahwa model perparkiran yang seperti ini membuka kesempatan bagi munculnya premanisme. setiap ada lahan yang tadinya menjadi public sphere diklaim oleh sebagian orang dan kemudian menjadi sesuatu yang dikomodifikasikan. sepetak tanah yang tadinya menjadi hak pejalan kaki lantas dijual oleh preman-preman yang secara dadakan lantas jadi tukang parkir.
perparkiran di yogya memang menjengkelkan. disatu sisi saya memaklumi bahwa krisis ekonomi, dan lantas kenaikan harga BBM pada pertengahan tahun ini, menjadikan jumlah orang yang miskin atau bahkan jobless menjadi meningkat dengan tajam. parkir menjadi lahan "pekerjaan" baru yang dibaca sebagai sesuatu yang mudah dan mendatangkan keuntungan--misalnya, warga kampung di perkotaan dengan mudah membuka lahan menjadi tempat parkir ketika kebetulan kampungnya ada di belakang sebuah mall. tapi memang, lantas hak-hak konsumen menjadi diabaikan. hanya meletakkan sepeda motor sebentar saja langsung kena biaya.
ketika kondisi jalan terbatas, jumlah kendaraan pribadi semakin banyak, dan kemacetan lalu lintas menjadi problem yang serius, memang diberlakukannya ongkos parkir yang tinggi menjadi salah satu solusi. tapi saya kira, yogya tidak siap untuk itu. selain tidak adanya transportasi publik yang nyaman dan sehat, saya kira juga tidak adanya pengelolaan yang jelas di perparkiran juga membuat konsumen semakin dibingungkan.
serba salah juga, keluar mulut harimau masuk mulut buaya--saya membayangkan, ketika parkir ditata, lahan parkir diambil alih oleh pemegang kapital, mereka juga dengan seenaknya menaikkan harga parkir, akan berdampak pada hilangnya pekerjaan sejumlah orang..
mungkin lebih mudah kalau pakai sistem serikat atau koperasi. jangan sampai parkir diambil alih oleh pemodal, tapi dikembalikan pada orang banyak, yang tentu saja soal biaya parkir yang terjangkau, pelayanan pada konsumen yang baik, dan memberi hak pada ruang publik dan pejalan kaki harus selalu jadi pertimbangan.
terakhir, saya kira tukang parkir terbaik se-yogya yang pernah saya temui adalah tukang parkir di lotek sagan--bapak yang kurus tinggi--yang ongkos parkirnya 300 (dikasih 500 pasti dikasih kembalian), dan kita akan dapat pelayanan yang baiiik banget dari bapak itu. hidup!
di jakarta mbak yu, harga parkir udah 2000 perak udah gitu pake makian dari tukang parkirnya lagi, mobil seenaknya didorong-dorong, kurang dikit bayar mobil udah kena baret.