Ada banyak cerita 2 minggu ini. Hummm, pasti lelah menceritakannya. Hehe, inilah akibatnya saya malas mengupdate blog ini. Padahal--resolusi saya adalah mendisiplinkan diri untuk setiap hari menulis. Karena bagaimanapun menulis blog adalah latihan yang baik sebelum saya memulai riset etnografi saya pada bulan Juni.
Ya, begitulah, ada banyak cerita. Dimulai dari perjalanan saya tanggal 5 sampai dengan 9 Februari ke Berlin. Perjalanan 5 hari yang lumayan melelahkan, tapi lebih dari itu sangat menyenangkan, karena disini saya bertemu dengan orang-orang yang hebat dan baik. Perjalanan dengan berbagai teman dari berbagai macam bangsa--tim ini terdiri dari Saya (Indonesia), Li Siyu dari China, Droma dari Tibet, Caroline Boonabaana dari Uganda, Carmeliza Rosario dari Mozambique, dan Javier Cordova dari Peru. Tim yang sangat luar biasa bagi saya, karena selama perjalanan kami, tidak ada perbedaan pendapat yang mencolok apalagi pertengkaran, tidak ada yang mencoba mendominasi satu dengan yang lain, semua saling mengalah, dan saling menghormati.
Perasaan saling menghormati inilah yang amat sangat saya rasakan bersama teman-teman saya yang teramat toleran ini. Bagaimana tidak, semua saling menghormati orientasi bepergian masing-masing. Yang ingin belanja bisa menunaikan hajat dan hasrat belanjanya hehehe, yang mau jalan ke museum silahkan, yang mau makan mie silahkan, yang makan non pork juga silahkan. Saya benar-benar menikmati gaya yang penuh respek dari teman-teman ini. Bahkan, teman-teman seringkali mengingatkan saya untuk sembahyang ketika waktu sembahyang tiba. What a wonderful.
Hari pertama di Berlin, kami berputar ke kota. Mengunjungi gedung parlemen, gate, ruas jalan yang mengenang yahudi korban Hitler, Jewish museum, dan banyak tempat. Ah, saya sungguh bukan penghapal nama-nama yang baik. Saya hanya menikmati perjalanan saya, dan menikmati angin dingin yang menerpa dan membuat kulit saya pedih-pedih. Serta membayangkan menjadi Yahudi pada perang dunia dua. Haha, juga beberapa romantisme.
Berlin kota besar. Tapi sebesar-besarnya ibukota di Eropa, masih saya bersahaja, dengan jejalanan yang lengang, tak banyak orang menggunakan transportasi pribadi. Orang lebih memilih kereta underground, kereta, trem, atau bus. Transportasi di Berlin juga sangat terjangkau. Saat saya datang, kota itu agak cantik dan ramai. Kebetulan, hari-hari itu juga bertepatan dengan diselenggarakannya Berlinale--Berlin International Film Festival. Di jalanan, baliho Berlinale terpampang dimana-mana. Publik Jerman juga menyambut hangat festival film ini. Informasi yang saya dapat dari petugas hotel, beberapa tiket film telah sold out jauh sebelum hari pemutarannya.
Berlin bagi lumayan cantik dan lumayan kotor juga. Banyak grafiti terpampang dimana-mana. Simbol kebebasan warga Berlin. Warganya tidak seramah seperti Bergen. Juga sedikit yang bisa berbahasa Inggris. Wah, beberapa kali saya bertanya dalam bahasa Inggris--dan sengaja memilih yang tampangnya agak muda, dengan harapan mereka bisa bahasa Inggris--ternyata tetep aja hehehe...ya sudahlah. Jadi saya benar-benar berasa seperti turis.
Malam kedua di Berlin, saya dan teman-teman makan malam diantar oleh Kim, seorang pria Mozambique, yang sudah 12 tahun tinggal di Berlin, dan kini sedang menempuh master di fakultas ekonomi. Dia mengajak kami untuk makan di Pizza leftist. Namanya seru amat hehehehe..orang menyebut pizza leftist, karena disini tempat nongkrongnya kaum leftist. di tembok tampak berbagai macam poster dan coretan disana-disini. Rumah makan ini ramaiii sekali. Saya mengobrol beberapa lama dengan Kim. Dia bercerita kalau pemilik restoran ini amat kaya raya karena dia jualan sosialisme dan romantismenya hahaha...tapi tetap saja buntutnya dia kaya karena kedainya jadi laris bukan kepalang. Ya bener sih, larisnya ampuuun deh. didalam aja sampai panaas banget. Ya rasa pizzanya sih biasa aja, gak nendang amat.
Disini saya juga banyak jalan di museum, dan belanja. Dihari terakhir, saya berjalan ke Musium Island, paket museum yang ada disatu area. Berkunjung ke galeri nasional, tempat "The Thinker" karya Rodin dipajang disana. Juga ke Pergamon Museum.
Selama di Berlin, saya banyak dibantu oleh Inest. Gadis manis asal Padang, yang banyak senyum, dan mengantar-antar saya, terutama belanja ke outlet murah hahaha..terimakasih banyak ya Inest...Disini pula, Inest menunjukkan pada saya, bahwa dunia adalah tempat yang sangat sempit dan terbatas.
Siang itu, saya bertemu Inest di stasiun Friedrichstrasse. Inest datang bersama dengan seorang temannya, saya kemudian saya kenal bernama Daus. Daus adalah mahasiswa di Berlin, yang sudah 6 tahun tinggal disana. Kesan saya pada Daus pada awalnya adalah dia orang yang pendiam dan low profile. Saya sempat berpikir tentang seseorang di Yogya. Tapi saya lupakan karena mengingat kecil kemungkinannya. Di perjalanan, saya lantas ngobrol dengannya. Baru beberapa lama kemudian, terkuaklah sudah, ternyata seorang Daus, adalah kakak kandung Maman, yang kebetulan adalah rekan kerja saya di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM. alaaah..dunia kok ya sempit betul yah:D
Labels: vacation