Tuesday, November 14, 2006
bahasa dan saya
Seorang teman pernah menyapa saya di shoutbox dan bertanya kenapa blog saya tidak ditulis dalam bahasa Inggris. Kemarin, saya mengobrol dengan teman dari Cina. Saya memberinya minuman jahe wangi. Kami memang sering bertukar produk masing-masing. Kadang bertukar teh, minuman jahe, mie, sampai obat herbal macam tolak angin. Lantas dia bertanya, apakah bahasa Inggris menjadi bahasa nasional di Indonesia, saya seperti negara-negara di Afrika. Saya balik tanya, kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu. Katanya, semua produk Indonesia memiliki petunjuk kemasan dua bahasa. Oya?

Saya lantas melihat. Bener, sampai di minuman jahe wangipun, ada cara pembuatan dalam bahasa Inggris. Padahal kemasannya sederhana karena memang itu produk lokal (baca: made in Yogyakarta). Iya ya, sampai teman saya menyangka kita semua bicara bahasa Inggris sebagai bahasa nasional. Kemudian saya coba bandingkan dengan makanan produk cina. Semuanya dalam bahasa Cina! Memang sih, saya membayangkan kalau ada orang asing masuk Cina pasti dia jadi pusing tujuh keliling.

Saya jadi bertanya-tanya, hebat sekali kalau semua orang Indonesia bisa berbahasa Inggris dan bisa terlibat dalam pergaulan internasional. Bisa dapat beasiswa ke luar negeri, dan pendidikan kita semakin baik. Tapi disisi yang lain, timbul pertanyaan lain dalam benak saya; Apakah orang Indonesia tidak pe-de (percaya diri--pen) dengan bahasanya? Sampai-sampai kemasan sebuah produk harus mencantumkan petunjuk kemasan dalam bahasa Inggris agar terlihat "dapat dipercaya", memenuhi syarat sebagai "kualitas eksport" dan sebagainya?

Bahasa adalah produk budaya. Peradaban yang muncul selama puluhan dan berabad tahun. Saya teringat sebuah artikel di sebuah tes IELTS (tes kemampuan bahasa Inggris) yang pernah saya ikuti (sayang saya lupa judul artikelnya). Isi artikel itu adalah bahwa globalisasi adalah hal yang paling bertanggungjawab terhadap punahnya bahasa-bahasa di dunia. Bahasa yang dipakai oleh kurang dari 100.000 orang bisa dipastikan musnah dalam waktu 10 tahun ke depan. Negara-negara di Asia, Pasifik, dan Afrika, adalah negara-negara yang paling serius mengalami ancaman kepunahan itu. Padahal, kehilangan bahasa adalah kehilangan yang lainnya. Kehilangan artefak kebudayaan, kehilangan kemampuan untuk mengurai sejarah dan peradaban sebuah bangsa, dan kehilangan mata rantai dari sebuah proses ratusan bahkan berabad tahun.

Tidak usah jauh-jauh. Bahasa daerah saja, di Indonesia ada berapa puluh, ratus, dan ribu bahasa dan varian dialek. Banyak sekali. Sekarang, siapa sih orang tua yang mengajarkan anaknya berbahasa Jawa halus untuk berkomunikasi? Siapa yang mengajarkan bahasa daerah sebagai bahasa ibu? Di kota besar bahkan, orang tua mulai mengajarkan anak untuk selalu berbahasa Inggris. Generasi saya sendiri, saya beruntung karena masih diajarkan berbicara bahasa Jawa oleh orang tua. Bahkan saya lebih nyaman berbicara dalam bahasa Jawa dibanding bahasa Indonesia, karena banyak ekspresi yang tidak saya temukan padanannya dalam bahasa Indonesia; misalnya kata "gething". Apa coba dalam bahasa Indonesia? Gemas?!? Ah, bukan juga..

Ya, bahasa adalah kita. Bahasa adalah masa lalu kita, masa kini, dan masa depan kita. Sebagai orang yang berbicara dalam tiga bahasa; Jawa, Indonesia, dan Inggris, saya merasakan kenyamanan terbesar saya adalah ketika saya berbicara bahasa Jawa. Di sini saya berbicara bahasa Inggris untuk keperluan lintas bangsa. Bergaul, kuliah, bikin tugas. Di luar itu, kalau saya sedih, capek, atau mengeluh, saya bicara dalam bahasa Jawa atau Indonesia. Karena itulah saya.

Hehe, saya tidak bisa berkatarsis dalam bahasa Inggris. Biarlah blog saya tidak bisa dibaca oleh orang dari negara lain. Kalau saya punya ide, dan kalau itu bermanfaat, biarlah yang memanfaatkan adalah orang Indonesia dulu. Kalau saya menulis dalam bahasa Inggris, mungkin hanya sedikit dari orang Indonesia yang tahu--selain karena alasan saya yang mungkin memang tidak mampu. Karena bahasa adalah saya, karena bahasa adalah sejarah saya.

Jadi, biar saja Nadine si Putri Indonesia tidak lancar bahasa Inggris. Justru itu yang membuat dia benar-benar putri Indonesia. Kiekiekiekie..

PS: Saya mencoba menulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Ternyata susah. Kalau dilihat suami, pasti dibabat habis alias diedit :P
 
posted by kembang_jepun at 9:40 AM | Permalink |


1 Comments:


  • At 7:07 PM, Blogger * gita *

    Hi Nurul, salam kenal! Thanks yah waktu itu udah ngirimin paket dari Stela ku Lund... Aku hutang sesuatu untuk kamu nih! BTW postingannya ttg bahasa inspiring baget, karena kau juga lagi punya kendala bahasa di sini. Susah ya ternyata kuliah dalam bahasa inggris.. hehehe..
    Kapan main2 ke Sweden? Kabar2i yah!

     
ulang tahun pernikahan
Daisypath Ticker