Selamat tahun baru semuanya..
saya ingin menuliskan ulang tulisan di foto ini..
TRADITIONS, TABOOS, AND DELICACIES
Everyone has a right to eat. Not just to stay alive, but also to celebrate the life, to stimulate the senses, to nourish friendships, to strenghen family, to make memories. Eating together goes along with special dishes from many traditions. Those differ from culture to culture and give people the sense of belonging together. Even if all supermarkets in the world may sell exactly all the same products and even if people from Amsterdam and world eat pizza, hamburgers, noodle soup, and tortillas, the need to eat special food together and to keep traditions alive will always remain and find everywhere. Saya menemukan kata-kata ini di Rijksmuseum voor volkenkunde, Leiden. Di sebuah ruangan besar khusus tentang makanan, dan tentang khazanah makanan di belahan dunia. Setelah bersepeda dari Merelstraat--museum ini memang menjadi tujuan utama saya. Museum makanan.
Makanan bagi saya menyimpan berbagai macam keunikan. Karena makanan identitas manusia dibangun dan dibedakan. Habitus yang dibentuk dan mengalami proses sejak seorang anak mengenal makanan selain air susu ibunya. Saya takjub dengan beranekanya makanan diseluruh dunia. Bagaimana pilihan terhadap makanan, cara memasak, cara memakan, hingga cara membersihkan makanan, adalah sebuah rekaman antropologis sebuah masyarakat. Seperti pengantar dipintu museum makanan di rijksmuseum. Makanan tidak hanya untuk mempertahankan hidup, makanan adalah cara manusia mempererat hubungan sosialnya, cara manusia membangkitkan memorinya terhadap sesuatu-tentang konsepsi ibu-tanah-homeland-aku. Makanan adalah kebudayaan, cara manusia berhubungan dengan alam, manusia dengan budaya, dan manusia dengan manusia yang lain.
***
Hari itu akhir tahun, dan saya menyusuri Leiden dengan sepeda. Saya menyusuri jejalanan diantara kanal, dan romantisme akan mbah Jalal, kakek saya yang diaspora. Saya mengingat mbah Jalal sebagai sosok kakek yang hangat, resik, wangi, datang dari Belanda setiap tahun, bersama oma Co de Swartz, istri yang teramat dicintainya itu. Saya tidak pernah lupa bagaimana saya kecil selalu membayangkan kehidupan di luar negeri yang serba tertata. Seperti muncul dalam sosok mbak Jalal. Mbah Jalal adalah adik lelaki satu-satunya mbah kakung kandung saya, Haji Zubair. Mereka adalah
Minke pada masanya. Simbah buyut saya pedagang kain mori untuk bahan batik. Sangat kaya. Sekitar tahun 1930-an, dua kakak beradik Zubair dan Jalal berlayar ke Mesir, sempat mampir belajar ke Al Azhar. Lantas Jalal belajar kedokteran ke Belanda, dan Zubair belajar ekonomi ke Perancis.
Keberuntungan orang-orang pada masanya. Keberuntungan karena terlahir sebagai keluarga kaya. Lantas, karena orangtuanya bangkrut, kedua bersaudara harus pulang karena tidak ada lagi biaya. Tapi Jalal tidak mau. Hatinya tertinggal disana. Beliau memutuskan untuk menetap bersama perempuan belanda yang lantas menjadi istrinya. Dan saya, sebagai generasi kedua Zubair, hanya bisa mengenal sosoknya yang elok dan wangi, setiap tahun, dalam kunjungan-kunjungannya. Mbah Jalal dan Oma Co tidak punya anak. Karena itulah mereka menganggap keponakan, seperti bapak saya adalah anak-anaknya. Mbah Jalal meninggal pada tahun 1999, karena usia tua.
Saya lantas membayangkan kehidupan sebagai diaspora. Sebagai orang yang berada jauh dari komunitas asalinya. Seperti mbah Jalal. Angin Leiden yang dingin siang itu, membuat pikiran saya berkelana. Dan saya membayangkan masa kecil saya yang saat itu melihat mbah Jalal sebagi sebagai sosok yang selalu berbahasa belanda dengan istrinya, lebih menggemari susu dan keju daripada tempe, sangat barat, ekspresif, dan tinggi..Saya melihat mbah Jalal sebagai sosok yang hebat, dan jauh. Terlebih ketika beliau menghadiahi kami buku berjudul "Holland".
Saat itu saya hanya menatap gambar-gambarnya. Dan melihat bahwa itu semua terlalu mewah dan tak mungkin untuk saya.
Keluarga kami memang mengalami mobilitas vertikal menurun karena pendidikan. Semenjak mbah buyut Muchsin memutuskan mengirim anak lelakinya untuk bersekolah, setelah pulang simbah Zubair menjadi guru, semua anak-anaknya termasuk bapak saya adalah sarjana, bekerja secara profesional, tapi tidak ada yang memiliki kekayaan seperti mbah buyut saya. Karena itu saya tidak membayangkan, bapak saya menjadi seperti mbah Muchsin yang membiayai saya keluar negeri.
Karena itu semua hanya dalam bayangan saya..
Tapi keapikan dan keelokan yang saya lihat dari mbah Jalal, adalah relasi pasca kolonial, seperti halnya yang digambarkan dengan detail oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Rumah Kaca. Lewat sosok Pangemanan. Bagaimana seoarang tokoh lokal, pasca kolonialisme, menanggalkan dirinya dan melakukan mimikri terhadap identitas penjajahnya yang dianggap lebih adilihung.
Saya--yang lokal itu--melihat mbah Jalal sebagai sosok yang sangat barat, belanda, kaya, apik, wangi, well educated, dan tinggi.
Sementara kini, saya membayangkan menjadi mbah Jalal. Yang pernah saya anggap belanda itu. Saya membayangkan hidup sebagai diaspora juga bukan kehidupan yang mudah. Identitas adalah sesuatu yang lentur, yang mudah digantikan, mudah dipertukarkan. Identitas dikenakan saat dibutuhkan, dan ditanggalkan saat dibutuhkan. Inilah strategi survive manusia. Tapi identitas bagi orang yang berdiaspora juga bukan perkara yang mudah. Sepandai-pandainya kau sebagai belanda, seperti apapun gayanya hingga seperti Belanda,kau tetap bukan Belanda.
Saya mengenang mbah Jalal disini. Dan saya membawa sebuah foto mbah Djalal dan Oma Co. Di belakangnya mbah Jalal menulis
"Ini digambar waktu di Restaurant Bali di Breda, hari 23 Mei 1995. Berarti Opa+Oma 40 tahun berkawin, dengan keluarga-keluarga disana+beberapa kawan-kawan yang ada dari sekolah pertengahan+yang dari di universitas".
Saya menuliskan kalimatnya persis seperti apa yang beliau tulis. Saya jadi teringat, tulisan di Museum makanan tadi. Bahwa makanan adalah cara orang untuk mengenang. Makanan adalah cara orang untuk mempertahankan akarnya.
Seperti mbah Jalal, saya baru menyadari..seharusnya saya tidak melihat mbah Jalal dalam sosok beliau sebagai sosok yang resik, wangi, kaya, seperti imajinasi poskolonial tentang penjajahnya.
Seharusnya saya melihat beliau seperti Jawa, seperti Jawa di Kotagede.
***
Lama saya menatap tulisan di museum makanan itu. Ingatan saya tentang Indonesia.
Everyone has a right to eat, karena itu adalah penanda identitas. juga yang terutama, tiap orang juga harus bebas dari rasa lapar.
Semoga kita tidak menjadi orang yang
culturally homeless.