Pada Cahaya yang Tinggal Separuhnya….
Akhir Agustus yang panas adalah pertemuan pertamaku dengannya. Aku bertemu dengannya ketika buah durian mulai berjatuhan dari pohon. Ketika ikan Mata Bulan dengan dipanen dari laut. Ketika udang-udang gemuk mulai langka. Ketika kota sudah menjadi puing—sebagian menjadi arang dan sebagian menjadi debu.
Aku bertemu dengannya pada tahun kedua perjalanan risetku.
Aku melihatnya pertama kali ketika aku sedang mengoleskan selai kacang pada roti sarapan pagiku. Ia datang dengan pesawat paling pagu. Tapi aku tidak berbicara sama sekali dengannya. Hanya kulihat dia turun dari Kijang biru. Ia memakai kaus dan celana jins, ransel dipunggungnya dan sebuah tas pakaian berwarna hitam.
Aku melihatnya dari restoran hotel, sedang ia di lobi mengurus registrasi. Dari restoran, lalu lalang orang-orang di lobi dapat terlihat dengan jelas.
Sebenarnya aku tak begitu memperhatikan dia.
* * *
aku mengunjungi sebuah tempat yang murung
Aku datang pada bukan Juni dua tahun yang lalu, ketika kerusuhan yang kedua meledak. Sebelum tiba, sebenarnya aku membayangkan yang indah-indah tentangnya. Diantaranya aku membayangkan mimpi-mimpiku terbayarkan—mengunjungi tempat-tempat dengan angin laut yang tak pernah berhenti berdesau, kepulauan yang eksotik, dengan tabuh-tabuhan dana tari-tarian, dengan udang-udang yang gemuk dan gurih, ikan segar, dan rempah-rempah yang hangat. Aku membayangkan akan menjalani ekspedisi seperti Old Shutterhand, bertemu orang-orang yang asing dan aku akan bersahabat dengannya. Lalu, aku akan menikahi sang kepala suku dan hidup bahagian selama dua tahun masa tugasku.
Ternyata tidak. Aku tidak bisa membayangkan yang indah-indah tentangnya.
Sebab aku menonton televisi dan membaca koran setiap hari.
Dan aku terpaksa menelan berita-berita itu.
Aku pernah punya peta panduan wisata kepulauan Maluku (yang belakangan kusadari panduan wisata itu milik masa lalu dan kini tak lebih dari sekadar omong kosong). Dari sana, aku tahu bahwa kepulauan itu memiliki pantai-pantai cantik, yang pasirnya putih degan taburan kulit-kulit kerang berbentuk lucu, yang airnya biru bening, dengan langit yang segar. Aku membaca beberapa artikel mengenai tempat-tempat di kepulauan itu. Halmahera yang di peta tampak serupa burung mabuk yang terbang miring kesana kemari. Masohi, si ibukota pulau ibu, Seram. Namlea yang dibangun oleh tapol-tapol tanpa pengadilan di Buru. Bandanaira dengan pantai terindah di dunia. Juga Ambon, si ibukota kepulauan yang punya banyak café gubung di pinggir pantai—tempat dimana gunung dan pantai dapat dilihat pada satu hamparan.
Tapi aku juga melihat kota itu hancur lantak. Seperti perahu kertas yang diremas menjadi satu gumpalan.
Pulau itu mulai terlihat tapat pada pukul dua belas waktu setempat. Dari jendela pesawt udara, awan-awan kapas dihadapanku muau berubah menjadi hijau, sebentar kemudian biru. Ambon adalah kota pertama yang aku datang. Selanjutnya aku akan maraton mengunjungi kota-kota lain di kepulauan itu. Pulau-pulau itu tampak kecil dari atas. Pesawat meliuk-liuk, aku berdesir. Tempat yang sedih. Tapi akhirnya aku sampai disana juga. Ruang yang bergolak, tanahnya bergetar, ada darah dimana-mana. Adrenalinku meninggi.
Rasa takutku juga.
Pendaratanku sempurna. Telingaku sedikit peka, perjalanannya cukup lama. Di bandara, beberapa serdadu berjaga-jaga. Wajahnya dingin, mulutnya datar, matanya beku. Ia seperti manekin tanpa senyum yang membawa senjata. Apa jadinya jika ada anak-anak yang melihat senjata di tangannya yang dalam posisi siap ditembakkan. Mungkin si anak akan membayangkan mengapa si manekin setua itu masih senang bermain perang-perangan. Perang memang permainan, dan sebuah pelajaran membunuh. Dilihat dari cara memegangnya, ia pasti sudah sangat terlatih. Siap menembak, siap meletus, siap melukai siapapun.
Pasti tidak enak jadi si manekin itu.
Melihat tataoan dingin, curiga, dan tidak bahagia miliknya, ia pastilah—jika bisa memilih—ingin menjadi pemilik restoran saja, atau menjadi pelawak saja, atau menjadi bintang film saja.
Aku berhasil keluar dari bandara setelah aku menunjukkan KTPku. Aku jadi ingat, tadi laki-laki disebeleahku berkata, ‘ Jangan lupa menunjukkan pengenal jika bertemu tentara. Kalau tidak, bisa-bisa kamu dituduh provokator.’
‘ Taoi jangan tunjukkan KTPmu kalau kamu masuk wilayah kerusuhan. Hapalkan saja sepotong ayat dari Bibel atau Qur’an supaya kamu dapat selamat,’ tambahnya. Petunjuk teknis yang selalu dipesankan setiap orang.
Aku mengangguk. Jadi aku harus berhati-hati pada dua hal. Yang pertama si serdadu—yang katanya ingin mengamankan wilayah. Yang kedua si penduduk yang sedang berkelahi membela agamanya. Laki-laki disebelahku terus nerocos tentang tidak amannya wilayah itu.
Sampai akhirnya aku mendarat di temoay ini. Sebuah tempat dengan peperangan. Bagiku, peperangan hanyalah sesuatu yang kubaca dalam pelajaran sejarah, pelajaran tentang perjuangan bangsa, atau pelajaran tentang pendidikan moral yang aneh dan membosankan itu. Aku tidak pernah tahu soal peperangan. Terbersitpun tidak.
Nyatanya aku kini di tempat ini. Tempat dimana bom siap meledak kapanpun. Dimana-mana ada senjata, yang diselundupkan dan dijual diam-diam di pelabuhan. Dimana-mana ada anyir. Angin teluk berhembus menebarkan bau bangkai yang membusuk. Kematian daging-daging, tulang-tulang, darah-darah.
Aku memang tidak punya referensi tentang perang.
Makanya aku kaget setengah mati, waktu aku mendapat tugas untuk riset dua tahun disini. Aku memang suka jalan-jalan, suka berkelana. Tapi tidak untuk perjalanan yang resiko kematiannya sangat tinggi seperti disini.
Walaupun pada akhirnya aku menerima juga tugas itu.
Dan aku ada di kota ini. Membuat riset panjang, dan dua tahun mesti live in; memantau tahapan konflik, sejak meletus. Syukur-syukur kalau pertikaiannya cepat selesai. Setelahnya, riset ini akan digunakan untuk merancang peace building. Walau katanya, untuk memulihkan kondisi yang akut pasca konflik dan kerusuhan butuh waktu paling tidak tiga generasi. Tapi, dengan aktivitas ini, diharapkan proses perdamaian akan mengalami akselerasi.
Tiga generasi untuk memulihkannya. Aku membayangkan tiga generasi itu artinya aku, ibu, dan nenekku. Astaga! Tiga generasi. Betapa lamanya.
Dari bandara Pattimura di Laha, aku dijemput oleh seseorang bermarga Latumerissa. Tujuan pertamaku adalah wilayah Kristen di Air Salobar. Dengan menumpang ojek binter tua, aku dibawa menuju teluk. Aku mencium bau laut yang segar. Tapi baunya amis juga. Aku berharap ini bukan manusia. Semoga ini bangkai ikan.
Aku komat-kamit berdoa.
Latumerissa tertawa. Ia menertawakan aku yang sedang berdoa. “Sudah, jangna punya agama disini. Punya agama bahaya. Paling sial kamu pulang tinggal nama,” ia tertawa ngakak.
Aku juga tertawa. Tawa sebal.
Karena jalan darat tak akam, aku ke Air Salobar dengan menumpang kapal motor. Aku naik kapal motor bertuliskan “Do’a Mamma” (dengan tanda petik di dema huruf ‘a’ dan dobel huruf ‘m’). Disisi kanan dan kiri kapal motor ada gambar perempuan tidak cantik dengan baju berdada rendah. Seperti gambar-gambar pada kotak truk di Jawa.
Aku berharap semoga mereka tidak seperti orang Dayak yang kabarnya bisa mencium darah Madura. Kalau ketahuan aku bukan Kristen mereka bisa membunuhku. Satu-satunya ayat Bibel yang kutahu hanyalah “Segala sesuatu yang telah dipersatukan oleh Tuhan tidak bisa dipisahkan oleh Manusia”. Ayat yang kuhapal karena ibuku bekerja di percetakan undangan pernikahan.
Kalau begini caranya mending aku tak punya agama saja.
Tapi negara ini mewajibkan warga negaranya punya agama. Di KTPku tertulis agamaku.
Ingin rasanya kubuang saja KTPku ke laut.
Sampai di daratan, kulihat dimana-mana ada sisa pembakaran. Ini kerumunan massa teramai dan tersadis yang pernah kulihat setelah kerusuhan Mei 1998. Bajingan! Jam-jam pertama kedatangan, aku sudah disuguhi dengan “happening art”—seorang pria dipukuli dengan ratusan tongkat kayu, juga sesuatu sejenis belati. Drama diakhiri dengan kematian. Perut terburai. Darah segar berleleran di jalan.
Aku mau muntah. Tapi aku harus membiasakannya.
Aku kepingin menangis. Tapi tak mungkin. Aku menyembunyikan KTPku dibawah kaus kaki.
Latumerissa menarikku dari kerumunan. Mengajakku naik angkot. Orang-orang di angkot sibuk membicarakan pembunuhan itu. Latumerissa banyak berbicara. Diantaranya—“Betapa herannya aku. Orang disini dapat bertahan dalam kondisi ini selama setahun lebih.”
”Lha, orang-orang Israel dan Palestina nyatanya sampai bertahun-tahun,” tukasku mengingatkan.
Oh ya, disini ada juga jalur Gaza, tepatnya dibelakang Hotel Mutiara—aku pernah tinggal disana selama seminggi. ‘Jalur Gaza’ ini perbatasan Kristen dan Muslim. Daerah yang paling sering bentrok. Gereja dan Masjid disana sudah dua kali dibakar.
Lalu hidupku berjalan dalam tahun-tahun yang berlalu disini.
Aku berpindah-pindah. Tidak ada yang pasti disini. Pakaian yang baru saja dicuci selalu kukembalikan lagi dalam koper troliku. Jadi, kalau harus pergi dengan mendadak, aku tidak perlu lagi berkemas.
Pernah aku tinggal di hotel, keuskupan, rumah penduduk, kantor ornop, atau lokasi pengungsian. Aku mendapat data-dataku dengan melakukan wawancara, diskusi, atau turut sderta dalam kegiatan ornop yang menajdi mitra. Kadang aku juga diam saja. Seharian tidak melakukan apapun. Hanya berdiam di rumah singgah. Mendengar berita dari radio amatir, isinya propaganda-propaganda dengan pemberitaan tidak berimbang.
Old Shutterhand sepertinya hanya ada dalam imajinasi Karl May. Betapa beruntungnya Kara Ben Nemsi yang mendapatkan banyak sahabat-sahabat di tempat-tempat yang dikunjunginya.
Aku juga mengenal banyak orang-orang baru disini. Walau, semenjak pertikaian meruyak, orang-orang acapkali memandang orang lain dengan curiga. Aku memang punya teman-teman, dimana aku bisa bekerja dengan baik padanya. Tapi tidak ada kawan yang benar-benar dekat. Tak ada seorangpun yang dapat membuatku bebas berkata dan bercerita tentang apa saja. Tak ada seorangpun yang dapat menunjukkan padaku bentuk bintang laut dengan penuh ketakjuban. Tak ada seorangpun yang dapat berdiri bersamaku di jembatan pinggir pantai. Tidak ada teman berbagi yang akrab, seakrab Old Shutterhand dan Winnetou. Tak seorangpun.
Sebab setiap hari adalah perang. Dan perang. Setiap hari adalah mendata berapa banyak manusia yang mati, dimana mayatnya. Setelahnya kadang yang kulakukan adalah mendongeng untuk anak-anak di pengungsian. Mengajarinya menggambar atau menyanyi. Meyakinkan pada mereka bahwa dunia selalu manus dna baik-baik saja.
Baik-baik saja.
Seperti hari itu. Kerusuhan meledak di Poka. Anak-anak dibakar dihadapanku. Disusul ayah dan ibunya. Dunia selalu manis dan baik-baik saja.
Peristiwa yang selalu membuatku terbangun pada tengah malam.
Aku teringat betul setiap detail eksekusi keluarga itu. Bayi yang menetek pada ibunya itu menangis. Kakak perempuannya dengan kaus merah bergambar beruang Winnie dan rok bunga-bunga. Ayahnya memohon ampun. Tapi, orang tak peduli. Minyak tanah disiramkan membasahi sekujur. Lalu api disulutkan. Mereka terbakat. Menangais histeris sebelum letupan kecil membuat mereka seperti batu bara yang dipanaskan/
Aku hanya tahu aku kaku waktu itu.
Dan eksekusi itu selalu membuatku terbangun pada tengah malam. Dengan jantung berdegup-degup, seperti ketika berlari-lari siang tadi.
Di pengungsian, aku meyakinkan pada anak-anak bahwa dunia selalu manis dan baik-baik saja. Ini adalah kebohongan terbesarku.
Mereka bermaik bayi-bayian dengan selendang tua. Menyuapinya dengan gelas dari kaleng susu karatan. Berbelanja dengan uang dari pecahan genting. Dunia selalu manis dan baik-baik saja.
Hari-hariku berjalan seperti biasa.
Hari-hariku adalah memetakan pertikaian. Mengukur sampai dimana tahapnya. Menganalisis pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Mengikuti perkembangan isu, dan merumuskannya dalam sebuah formula. Aku seperti dokter yang sedang mendeteksi penyakit lalu memberi resep obat yang bisa menyembuhkan.
Ini terkadang menjemukan dan menyiksa.
Jika aku hampir mati bosa, dan suasana sedang tenang, aku akan berjalan-jalan sendirian. Ke pantai, mengumpulkan kerang yang seperti kancing-kancing baju atau bercakap-cakap dengan udang asam manis yang akan kusantap.
Ini adalah tahun kedua perjalanan risetku