Monday, September 18, 2006
kosmopolitanisme
Saya akan memulai dengan mencoba menerjemahkan secara harfiah. Kamus oxford menyebutkan sebagai gathering from all parts of the world, having wide experience of the world. Kata ini disebut berulangkali oleh Ulrich Beck dalam papernya di jurnal yang saya baca sebagai pengantar tidur, sebagian karena kewajiban, karena esok Rabu saya harus berdiskusi tentang ini di dalam kelas. Sebuah tulisan tentang second age of modernity dan risk society yang sudah akrab ditelinga saya sejak mahasiswa, yang sudah sering dibicarakan oleh komunitas dimana saya berada, yang acapkali dikutip dalam tulisan kehidupan di Kompas (yang lama-lama membosankan itu karena terus menerus mengutip Baudrillard).

Masyarakat paruh kedua modernitas, yang karena revolusi transportasi dan komunikasi membuat terhubung satu sama lain. Yang membuat—meminjam istilah beck less boudanries—membuat orang shop internationally, work internationally, marry internationally, love internationally, research internationally, educated internationally dan segala macam internasionalitas yang lain. Dunia yang eklektis, yang genit, dan penuh warna-warna itu.

Saya menghabiskan tulisan tentang kosmpolitanisme ini minggu lalu. Dan saya masih terus berpikir dalam minggu ini. Kegenitan apa lagi, batin saya. Entah saya yang perasa atau memang dunia seperti ini. Saya merasa, jangan-jangan saya adalah romantik genit, yang bergegas dijalanan basah sebuah tanah bernama Eropa, dengan jaket panjang, di tengah autumn, menuju kampus, bersiap kuliah—educated internationally—yang mengharuskan dan memaksa diri untuk selalu berbahasa Inggris, mengakses jurnal internasional dan perpustakaan yang nyaris tanpa cela dan hambatan…ah, serasa di film-film saja.

Oke, saya melanjutkan membaca sebuah chapter, mengenai hilangnya apa yang disebut dengan Negara bangsa. Negara bangsa tidak lebih dari sekadar jargon yang telah hilang, karena UN adalah Tuhan bagi dunia ini. Beck mengambil eksemplar mengenai perang Kosovo 1999 ketika NATO membombardir Serbia, yang membuktikan bahwa keputusan mengenai sebuah Negara tidak lagi ditentukan oleh Negara bangsa. Tetapi tentu saja oleh kekuatan politik global—yang didekengi oleh adikuasa di dunia ini. Ketika konsep tentang Human right yang tadinya bersifat kolektif dan berdasar teritori kini menjadi human right yang bersifat subyektif dan individual. Semua berdasarkan ide dasar hak asasi yang seragam; hak perempuan, hak anak, hak homoseksual, hak lesbian. Hak yang membuat ilmuwan dan aktivis di Negara ketiga yang the rest sebagai sesuatu yang sangat barat. Interpretasi yang sangat barat, karena dari perspektif ini, mekanisme adat yang pake senjata-senjata tadisional gitu bisa jadi masuk kategori melanggar HAM. Lantas dimana hak-hak komunitas itu?

Selain menekankan pada Negara bangsa, Beck juga menyebut ini dengan space time compression, dimana migrasi dan lalu lalang manusia, pertukaran ekonomi yang luar biasa cepat menjadikan manusia ada dalam level resiko tertentu. Level resiko kerena modernisasi itu sendiri. Resiko yang diproduksi seperti dalam pabrik. Kerusakan lingkungan, kurang air bersih, insekuritas yang semua sistematis, seperti modernisasi itu sendiri.

Mata saya ngantuk dan lelah, di dalam kamar saya yang hangat dan diluar hujan yang terus mendera. Saya sedang berpikir tentang diri saya, dan saya melupakan Beck yang berbicara bahwa dunia adalah ruangan dengan banyak pintu, banyak simpul, seperti friendster itu. Koneksi dan koneksi. Ketemu.

Pikiran saya melayang kemana-mana. Seperti hari yang melelahkan beberapa waktu yang lalu, tentang jaringan, tentang proyek, tentang kerjasama internasional. Tentang universitas saya yang terbata-bata menerjemahkan internasionalitas itu. Tentang mahasiswa yang cantik-tampan-segar-bertelepon genggam-bermobil—yang rasanya kelak tidak akan pantas protes soal harga-harga,terutama harga pendidikan, karena konsumsi sehari-hari mereka sudah lebih tinggi dari konsumsi pendidikan. Sedang saya membayangkan, barangkali saja ada diantara mahasiswa itu yang tidak makan semalam, yang terancam drop out karena tidak punya uang.

Kosmopolitanisme yang saya baca di bukunya Pilliang, yang saya baca setiap minggu di kompas—yang saya bilang lama-lama membosankan. Kosmopolitanisme teman saya yang bekerja di NGO internasional, dan bercerita tentang Zara dan Mango di pojok Manila yang minggu lalu didatanginya: She is mango freak, dan dia blogging untuk orientasi seleranya itu, dan demikian..dan demikian..

Juga saya yang beruntung dengan kehidupan yang teratur. Perempuan, well educated, punya uang, tak pernah kelaparan, ikut gerakan mahasiswa waktu kuliah, punya leisure time, bisa protes, bisa jalan-jalan, bisa mroyek, dapat uang, punya kerja, kursus bahasa inggris, dapat beasiswa, dan segala capital yang bisa membuat saya genit. Kegenitan saya yang setiap malam tidur diatas kabel-kabel. Diasrama mahasiswa lantai sembilan, 24 jam terkoneksi internet, bisa mencintai buku karena saya punya uang untuk membeli dan mencintainya, karena saya tidak pernah punya pengalaman lapar…

Saya tiba-tiba membayangkan mahasiswa yang di pojok kelas, terdiam, berpakaian sederhana, dan barangkali esok pagi drop out karena tidak punya uang. Karena tidak mampu beli buku. Dan saya menduga, mungkin Beck lupa dengan kaum miskin kota, lupa dengan kelompok minoritas yang subsisten, yang boro-boro berpikir soal internet, ketika air bersih saja tidak ada, pada ibu-ibu yang bahkan tidak pernah melihat seperti apa telepon genggam..dan buku dihadapan saya tampak seperti narasi besar. Diantara banyak hal yang sebenarnya kecil.
 
posted by kembang_jepun at 9:33 PM | Permalink |


0 Comments:


ulang tahun pernikahan
Daisypath Ticker