Sekolah. Iya, saya sedang berpikir tentang sekolah. Saya sedang menghitung waktu yang telah saya tempuh selama ini untuk menyelesaikan sekolah. Dua di taman kanak-kanak, 6 di sekolah dasar, 6 di sekolah menengah pertama dan atas, dan 4,5 di perguruan tinggi. Total delapan belas setengah tahun saya habiskan untuk berada dalam pendidikan formal. Angka yang tentunya sebagian diantaranya adalah keberuntungan, mengingat tidak banyak yang bisa menempuh pendidikan formal sepanjang ini ditengah harga-harga yang melonjak tinggi termasuk biaya pendidikan.
Saya sedang merekam kembali ingatan saya, pernahkah saya benar-benar belajar secara formal--selain di kelas. Waktu sekolah dasar saya tidak pernah menjadi juara, belajar di rumah hanya saat membuat pe-er. Bapak saya tidak memasukkan anak-anaknya dalam les yang waktu itu sudah mulai marak. Ingat Asana Bina Widya-nya pak Sarwoko? Dulu saya sempat merengek masuk kesana, karena semua teman-teman les disana. Dan Bapak menolak.Karena sebenarnya saya ingin karena teman-teman disana. Bukan karena keinginan sendiri. Bapak saya juga tidak pernah menyuruh saya belajar di rumah. Hanya saat ada pe-er yang menjadi kewajiban saya mengerjakan. Bapak menganggap, cukup anak mendapat beban di sekolah. Selebihnya adalah waktu bermain-main. Waktu untuk di rumah, membantu ibu memasak, membersihkan rumah, dan membaca buku yang kau suka.
Sekarang saya bersyukur dengan cara orangtua saya mendidik saya dulu. Bapak saya tidak pernah memaksakan minat. Ketika saya selalu gagal dengan matematika dan fisika, bapak mengingatkan bahwa saya selalu punya nilai tinggi di pelajaran IPS. Saya pernah sangat kecewa, ketika saya pulang paling akhir ketika mencongak di kelas, dan semua soal adalah soal hitung-hitungan. Saya ingat sekali, bahkan saya kesulitan untuk menjawab perkalian 7x8.
Saya tidak pernah ikut les. Sepulang sekolah saya bermain dengan anak tetangga, sampai sore. Kadangkala, sorenya saya bersepeda bersama bapak, keliling sampai jauh sekali. Bapak juga suka mengajak ke bioskop, ketika film anak-anak seperti beauty and the beast atau home alone diputar. Juga ke Gramedia. Sebelum berangkat, bapak memberi jatah, misalnya 50 ribu, dan bebas memilih buku apapun yang kau mau. Biasanya saya memilih membeli buku enyd blyton, atau astrid lindgren. Wah saya pecinta berat lima sekawan dan pippi.
Sampai sekolah menengah pertama dan atas, sepertinya saya lebih sering bermain-main daripada belajar. Saya tidak pernah menjadi juara kelas kecuali saat kelas satu SD. Tapi saya enggak pernah kena marah. Bahkan SMP saya pernah mendapat nomer buntut--rangking 4o. Lumayan sedih juga waktu itu. Tapi bapak cuma berpesan, "yo sinau meneh". Begitu pula di SMA. Untungnya walau pas-pasan, saya tidak pernah tinggal kelas.
Saya menemukan kebahagiaan sekolah, di SMA ketika penjurusan di IPS. Ketika saya mengucapkan goodbye my love pada fisika dan matematika hehe. Waktu itu, banyak teman saya yang menangis karena hasil rapotnya menunjukkan kalau dia enggak layak masuk IPA dan akhirnya masuk IPS. Sampai sekarang, saya masih heran bin bingung dengan sistem penjurusan yang acakadul seperti ini. Bagaimana mungkin penjurusan tidak didasarkan pada minat, tapi pada nilai. Hingga nilai rata-rata tinggi, dia masuk IPA dan yang rendah lantas dibuang di IPS. Sampai masuk di kelas IPA juga menjadi keinginan bagi sebagian orang tua siswa, sampai ada teman yang menangis dimarahi orang tuanya karena masuk IPS. Tapi saya masuk IPS. Rapot saya rendah. Tapi kalaupun tinggi, saya tetap akan masuk IPS.
Seperti saya bilang tadi, saya menemukan kebahagiaan bersekolah di IPS. Meskipun saya juga lebih banyak bermain-main disana. Tapi saya menemukan sesuatu yang menjadi diri saya. Pada semester satu kelas tiga SMA, saya menetapkan pilihan studi saya di UMPTN pada sosiologi. Hingga akhirnya, selepas SMA saya berada di jurusan Sosiologi. Saya diterima pada pilihan pertama. Pilihan kedua saya Antropologi.
Empat setengah tahun di perguruan tinggi benar-benar saya nikmati. Saya merasa bahwa disinilah saya menemukan tempat bermain yang indah dan menyenangkan. Bukan dari ruang-ruang kelas--karena maaf, dosennya sering kosong, dan bahan kuliahnya tidak up to date (walau tidak semua)--saya menemukan ruang bermain ini dari teman-teman, dari aktivitas yang saya ikuti, dari buku-buku yang saya temui dan diam-diam saya baca--yang sebagian saya pahami dan sebagian tidak. Dan saya cukup beruntung (atau sial?) karena saya bisa selesai tepat waktu.
Jadi dalam waktu 18,5 tahun saya belajar formal, mungkin waktu saya di kelas hanya 8 tahun. Selebihnya adalah waktu bermain.
Jadi bermain-mainlah. Jangan percaya bahwa ilmu hanya datang dari kelas.