Dua proses cara menemukan keutuhan transendental. Seorang yang pertama, yang mengenal Tuhan secara pragmatis, adalah orang yang bahagia, sedangkan yang kedua, yang mengenal Tuhan dengan mendebatnya adalah cara seorang sufi, filsuf, dan ilmuwan, demikian Sobary, menyebut bahwa kelompok kedua ini adalah orang-orang yang beruntung.
Saya jadi teringat seorang Nietzsche, yang suatu kali mengatakan “God ist tot”, tuhan telah mati. Seseorang dengan segenap eksistensinya yang membunuh Tuhan. Atau seorang seperti Rumi yang mengatakan “Akan kubakar surga dan kupadamkan neraka” agar nilai ibadah adalah sebuah keutuhan tanpa bayaran. Atau sebuah pepatah Arab kuno “hiduplah kamu dalam kehidupan, maka kau akan hidup dalam kematian”. Orang yang mencari Tuhan dengan caranya yang istimewa. Sebab mereka terusik, sebab mereka menjadi pro kontra, sebab mereka mendorong orang untuk berpikir tentang makna, maka mereka sesungguhnya telah memberi cahaya pada peradaban manusia. Dan Tuhan pasti akan menilai ini sebagai nilai ibadah yang tak pernah sia-sia.
Sebuah kecintaan kepada Tuhan, dimana keutuhan sebuah peribadatan adalah ketika dimensi imanensi—hubungan yang bersifat humanis, dikawinkan dengan hubungan yang berdimensi transendensi, dimensi sipritualitas. Cinta yang melintasi batas ras, bangsa, agama, batas nama-nama, batas benda-benda. Mencintai Tuhan dengan segenap rasa kemanusiaan kita.
Maka saya akan mengutip kata-kata seorang sahabat kehidupan saya. Kawan yang teramat istimewa bagi saya, yang menunjukkan warna-warna orange sang bhiksu saat senja tiba, yang menceritakan pada saya kisah sufi, yang mengajak saya pergi ke klenteng di pinggir pantai..kali ini dia mengajari saya tentang 99 butir mutiara yang dia cari. Sembilan puluh sembilan mutiara dalam sebuah ceruk dalam dan gelap, yang harus dicarinya dalam waktu satu malam. Dia mencari, di jalan sesuatu yang indah menyapanya, dan dia bermain-main, tak terasa sore tiba, 99 butir mutiara tak ada. Hanya satu yang ada di tangannya. Dia akhirnya kembali, menunjukkan satu butir mutiara yang dibawanya. Hanya satu dari 99 butir—yang seharusnya bisa dirangkai dalam tasbih. Dia hanya memiliki satu. Dia bilang dia telah gagal, dia bilang dia sesungguhnya telah bermain-main dengan waktu, berjudi dengannya. Satu. Satu bagian kecil dari bagian yang besar, sebuah titik di maha luas ilmu pengetahuanNya. Hanya satu yang mampu dijangkau dalam dimensi manusia sepertinya. Dia merasa gagal. Tapi sesungguhnya tidak. Sebab satu yang dia dapat mengajarkan padanya sesuatu yang besar. Dia gosok satu mutiara di tangannya, dan dia terima dengan segenap rasa syukur. 99 mutiara adalah tasbih. Asma Allah. Asmaul husna. Dia hanya manusia berusaha melafalkannya. Segenap kesempurnaan kita tak akan menjangkaunya. Tapi kita bisa belajar satu hal. Bersyukur. Bersyukur bahwa setidaknya kita pernah mempertanyakanNya. Walau pada akhirnya kita akan menemukan kekalahan. Kekalahan yang penuh harapan. Kekalahan yang penuh kesyukuran. Kekalahan yang memberi wajah indah bagi peradaban. Subhanallah.
Iqb,
Atas perjalanan indah kita kemarin, hari ini, dan esok;
penuh kasih sayang, juga penuh perdebatan dan penyangkalan.
Semoga kita akan bersahabat selamanya. Amin.