Sore ini saya berdiam di kamar. Banyak yang saya pikirkan hari ini. Selain itu, saya juga harus mulai berdamai dengan cuaca di Bergen yang moody. Dalam sekejap cuaca bisa panas, dan dalam sekejap hujan sangat lebat. Mungkin dalam sehari cuaca bisa berubah sampai puluhan kali. Misalnya, tadi pagi saya berangkat ke kampus, dalam cuaca yang sangat gelap, padahal sudah pukul 10 pagi, di dalam bis kota, matahari sudah mulai cerah, di kota, di dekat kampus, cuaca sudah panas. Setiap hari, saya memakai sweater dan jaket sekaligus untuk menahan hawa dingin, dan setiap kali harus bersiap melepasnya jika matahari muncul, dan saya terasa panas. Ini karena cuaca masih setengah-setengah, pergantian dari summer ke autumn. Pepohonan masih hijau, bunga-bunga masih mekar, tapi setiap hari hujan turun, panas dan gelap dalam satu waktu.
Yah, itu tentang cuaca. Sembari menunggu kartu saya untuk reading room diaktivasi, saya seringkali menghabiskan waktu saya di rumah. Dan dari balik jendela saya mengamati tiap perubahan cuaca. Dari dalam kamar saya d fantoft yang nyaman ini. Dan satu lagi, hujan juga membuat saya gampang lapar dan membuat saya sering makan. Saya menyimpan persediaan makanan yang lumayan banyak di dapur saya yang mungil dan bersih. Ehm! Inilah kalau kampus dekat dengan downtown. Tidak sulit bagi saya untuk mencapai toko-toko Asia—misalnya Eksotiks Tork, Ahsan International, China tork, dll, juga supermarket yang menawarkan harga murah di Bergen, seperti Rema 1000 atau Rimi. Setiap pulang dari kampus, saya selalu menyempatkan untuk berbelanja sayur, atau apapun. Meski saya suka mencak-mencak kalo mengkonversi harga-harga di kroner dengan rupiah, saya bukan tipe orang yang hemat (baca: pelit) seperti mahasiswa Indonesia pada umumnya (maaf kalau menggeneralisir) yang amat mengencangkan ikat pinggang demi penumpukan tabungan, hehehe. Karena itu, bisa dibilang saya sangat royal, dalam belanja, khususnya mencoba makanan yang ada disini. Walaupun kalau beli di restoran pastilah uang beasiswa saya amat tidak cukup, saya mencoba mengakali dengan membeli produk kemasan yang biasa dijual di supermarket.
Mmm, cintai makanan di mana kamu tinggal. Maka kamu akan mencintai tempat itu. Saya lantas hari ini sibuk berpikir tentang makanan. Hari ini pikiran saya penuh dengan makanan. Dan hari ini saya kelaparan di dalam kelas, ketika kami sedang belajar tentang strukturasi dan habitus. Seorang professor saya yang sangat mengimani bourdieu, bercerita dengan semangatnya tentang habitus dan strukturasi, tentang ranah practice of theory dan kapitalisme. serta sebuah buku yang harus tuntas dibaca, karena besok rabu kami sekelas akan dibagi dalam dua kubu: satu mempresentasikan pemikiran bourdieu, dan yang lain membuat bantahan dan menjadi kritikus bagi pemikiran bourdieu.
Tapi saya tetap berpikir tentang makanan. Perut saya berbunyi, karena saya sangat lapar. Waktu menunjukkan pukul 12 siang, dan itu memang saat untuk makan. Saya membayangkan empek-empek, saya membayangkan siomay, tempura, lotek sagan, pecel lele…saya membayangkan rumah. Dulu, ketika belum menikah, pada sore hari di waktu hujan, ibu seringkali memasak makanan hangat. Ibu memasak bakmi godog, pisang goring, atau sari kacang hijau.
Saya membayangkan makanan, yang membuat saya rindu rumah, yang membuat saya kangen ibu. Dan dosen saya terus berbicara tentang habitus. Kuliah selesai, dan saya mampir sejenak ke gedung sebelah, untuk berkunjung ke center (semacam pusat studinya lah), dan setelah itu saya pulang. Saya berpikir, saya akan memasak hari ini. Saya mampir, dan mencoba satu makanan baru: makarel bumbu merica.
Lantas saya memasak makarel ini. dan makarel bumbu merica ini akhirnya tidak saya makan, bau dan rasa yang aneh. Dan tiba-tiba saya teringat kata-kata: cintailah makanan dimana kamu berada, maka kamu akan mencintai tempatnya. Saya memaksa untuk makan tapi tidak bisa. Dan saya membuka lemari di dapur saya, astaga, ternyata masih ada “harta benda” yang made in Indonesia, masih ada ¼ kg abon, 5 bungkus samabal pecel, 7 buah indomie, 1 botol sambal pedas manis, dan bumbu-bumbu aneka macam yang belum juga saya gunakan. Makanan memang dekat dengan cinta. Pikiran saya lantas terbang pada Indonesia, makanan “kotor” yang saya beli di pinggir jalan tidak hanya berdimensi rasionalitas, bukan karena saya butuh makan, tetapi karena saya suka. Saya akhirnya memasak satu menu istimewa siang ini: nasi telur dadar dengan lauk abon.
Saya memakan karena saya suka. Dan saya yang bahagia setengah mati menemukan kecap ABC di eksotiks tork, seharga 60 kron untuk 500 ml (Rp 90.000), seperti kebanggaan saya melihat sambal ABC di sebuah toko makanan timur tengah bernama Babylon. Walau saya sering mencak-mencak dan komplain tentang Indonesia, korupsinya, ruwetnya, polusinya…tapi tidak terlukiskan kebanggaan saya ketika melihat kecap made in Indonesia dijual di Bergen, dan tidak dapat dilukiskan kegondokan saya ketika melihat produk “Sambel Oelek” dan “Sambal Manado” dengan tulisan Made in Thailand..
Saya menatap dari balik jendela, dan burung-burung terbang dalam kerumunan. Mungkin mereka hendak ke selatan, karena sebentar lagi akan gugur dan menjadi dingin. Saya jadi teringat program discovery channel yang merekam perjalanan ke selatan. Perjalanan yang pasti teramat jauh, dan beberapa diantaranya tidak akan bertahan..jumlah mereka akan sangat berkurang ketika tiba di selatan. Dan melihat kerumunan, kembali mengingatkan saya pada identitas saya disini. Dan mengingatkan saya pada kecap ABC. Hehehe, enggak lucu banget ya..saya tidak dibayar sama kecap ABC untuk jadi bintang iklannya, tapi saya dengan bangganya menunjukkan pada teman Cina saya tentang produk Indonesia, dan kecap ABC juga bukan agen nasionalisme, kecap ABC adalah raksasa industri makanan di Indonesia, yang saya baca di kompas on line beberapa hari yang lalu sebagai penguasa produk kecap dan saus karena menguasai lebih dari 50% pasaran kecap dan saus. Kecap ABC yang saya cintai ini adalah produk yang di Indonesia telah menggusur ribuan indutri kecap rumah tangga..
Saya mungkin tipikal manusia produk postindustrial yang tersasar di bagian utara bumi ini..ketika saya 24 jam terhubung lewat kabel-kabel. Sering sekali berbicara dengan suami saya lewat chatting, bertemu teman-teman setiap hari dan menyapa mereka, mengup date berita tentang Indonesia dari Internet, dan menelpon rumah seminggu 2 kali…tapi saya kangen Indonesia gara-gara kecap ABC. saya tidak lagi berpikir tentang harga, saya tidak lagi berpikir rasionalitas uang. Tetapi saya berpikir tentang ingatan saya pada ibu, ingatan saya pada rumah, dan pada makanan yang telah saya lahap selama lebih dari 25 tahun ini…saya tidak berpikir lagi soal harga, walaupun beasiswa saya ini mepet, walaupun ini akhir bulan, dan walaupun ada banyak buku yang harus saya beli.
Inilah saya. Manusia postindustrial yang identitasnya ditentukan oleh kecap ABC. Ketika di kelas dari Leif—profesor itu berbicara mengenai indentitas yang diwakili oleh konsumsi, identitas yang bukan lagi kelas tapi lebih individual. Ketika pasar tidak lagi mementingkan jumlah konsumen yang banyak, tetapi konsumen yang loyal (dan banyak juga).
Dari makanan di dapur saya, ingatan saya tentang rumah, dan kecap ABC tadi..saya menyadari bahwa ternyata pengetahuan saya tentang kecap ABC adalah pengetahuan yang melekat dan saya bawa meskipun saya telah berada nun jauh di sini. Dan “penemuan” saya pada kecap ABC di Bergen, membawa saya pada identitas yang lebih besar. Yang maha melekat. Identitas saya sebagai orang Indonesia, identitas saya sebagai Asia, dan identitas saya sebagai Muslim—karena saya selalu mencari daging dan sosis halal di toko ini.
Identitas saya yang bermula dari kecap ABC. Habitus yang melekat dalam ruang ketidaksadaran saya tentang makanan. Ketika pertama kali gigi saya kuat untuk memakan daging, yang saya makan adalah daging dengan kecap, ketika saya makan nasi goreng bikinan ibu, yang saya makan adalah nasi goreng dengan kecap..dan saluran televisi di rumah saya selalu menayangkan iklan kecap dengan keluarga yang bahagia sebagai ilustrasinya..
Ingatan saya berlari pada eyang saya—yang konon ketika bapak saya kecil, hidup dari usaha membuat kecap rumah tangga berlabel AZ (singkatan dari Ainnul Hayat dan Zubair—nama mbah dan eyang saya), dan kecap itu beredar di sekitar kotagede saja. Kecap ABC telah mengaburkan ingatan saya akan tergusurnya kecap AZ dan kecap local lain, yang dibuat oleh tangan-tangan ibu-ibu, dikemas secara sederhana, dan yang pasti—tidak akan lulus sensor di bandara ketika saya bawa ke luar negeri.
Ya, itulah mengapa kekuasaan kecap ABC kini lebih besar daripada kekuasaan seorang duta besar. Inilah mengapa, saya merasa nyaman ada di Bergen setelah tahu ada kecap ABC di eksotiks torg, dan saya merasa tidak terlalu pusing walaupun tidak ada konsulat Indonesia yang ada di Bergen—bahkan hingga kini saya belum melaporkan kedatangan saya di KBRI
Sadar atau tidak, sayalah agen kecap ABC. Saya adalah pelaku dan bagian dari kekuasaan yang menyebar dalam setiap detak jantung kita. Saya adalah bagian pelaku kekuasaan itu karena saya mencari rasa aman dan nyaman tinggal disini melalui kecap ABC—tidak dengan cara membuat sendiri kecap dari kedelai karena memang saya tidak bisa membuatnya, dan tidak memiliki pengetahuan untuk membuatnya.
Mmm, entahlah….membelinya memang terasa lebih mudah, apalagi memakannya tanpa berpikir haha
(to be continued..)